Dan.. ternyata filmnya berbeda dengan cerpennya. Saya nggak bisa bilang sih mana yang lebih bagus, we can't compare it, ada beberapa yang saya suka dari versi cerpennya sekaligus ada beberapa "improvisasi" yang saya suka di film ini.
Filosofi Kopi The Movie di adaptasi dari salah satu cerpen berjudul sama dari buku Filosofi Kopi : Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade -nya Dee. Bukan cerpen favorit saya di buku ini, karena Spasi, Mencari Herman atau Ricco De Coro lebih menarik di benak saya, haha.
But, let's talk about this movie..
Cerita di buka dengan kesibukan di Coffee Shop "Filosofi Kopi" milik Ben (Chicco Jerikho) dan Jodi (Rio Dewanto), Ben sebagai barista, sedangkan Jodi bekerja di bagian management. Masalah muncul ketika mereka terlilit hutang 800 Juta yang di wariskan dari ayah Jodi. Karena itu, Jodi ingin menjual kopi sebanyak - banyaknya (dengan membeli kopi yang lebih murah, memasang wifi di cafe), sementara Ben, masih idealis untuk mempertahankan kualitas. Bahwa seharusnya "Filosofi Kopi" tetap berdiri untuk para pecinta kopi, menyediakan kopi dengan kualitas terbaik, tanpa mengikuti tren kekinian hanya untuk keuntungan yang lebih besar.
Di film, tidak di jelaskan bagaimana arti "Filosofi Kopi" lebih sampai pada para pengunjung. Meski ada bagian film yang menunjukkan tiap pemesan kopi akan membawa seselip kertas, itu tidak menjelaskan apa - apa menurut saya (baru di bagian akhir film, sebelum credit title, kertas - kertas itu ditunjukkan). Padahal menurut saya, justru karena kertas - kertas itu lah kita bisa mengerti kenapa Coffee Shop ini bernama "Filosofi Kopi".
Selanjutnya, masih karena hutang, akhirnya datang lah calon-solusi untuk melunasi hutang tersebut. Ketika seorang pengusaha menantang Ben dan Jodi untuk menyediakan kopi terbaik di Jakarta untuk di sajikan kepada investor dari tender miliknya. Dan yaa, ini berbeda juga dari buku sih.
Ben dan Jodi akhirnya mencari kopi terbaik untuk bisa menjawab tantangan tersebut. Actually, Ben. Mereka mengikuti pelelangan kopi, mencari cara mengolah kopi terbaik, sampai akhirnya tercipta lah varian kopi baru di cafe mereka : Ben's Perfecto.
Seyakin - yakinnya mereka dengan Ben's Perfecto, ternyata di kalahkan oleh komentar El (Julie Estelle) yang bilang kalo Ben's Perfecto hanya di tingkat "not bad". El disini berperan sebagai Q Grader yang sedang menulis buku. Ah, bapak - bapak di buku berubah jadi perempuan cantik. Sukanya saya, karena kehadiran perempuan inilah lebih berasa emosional, karena ada cinta di antara mereka *halah*
Akhirnya, Ben dan Jodi mengikuti El untuk membuktikan bahwa ada kopi yang lebih enak di daerah Ijen. Kopi Tiwus. Daann... disini lah klimaksnya. Pencarian jati diri mereka, menyadari sesuatu di masa lalu mereka, berdamai dengan diri mereka sendiri, menjawab tantangan dari sang pengusaha. Sayang ending lucu di cerpen tidak ada disini (yang udah baca pasti ngerti :p)
So, apa film ini layak tonton? Tentu saja. Film ini menjadikan sastra lebih mudah tersampaikan, lebih merangkul banyak orang. Akting Ben - Jodi - El patut diapresiasi. Saya juga suka skrip yang mereka bawakan, gaya anak gaul Jakarta nya ngena, tidak terkesan alay :p. Beberapa artis kawakan juga mendukung dengan muncul di film ini. Dan, OST nya enak - enak, hahaha. Selain Maliq n d'Essentials, ada Glenn dan Monita juga.
Serunya lagi, kemarin nontonnya ama anak - anak dessentialsSBY dan nontonSUB, ketemu lagi deh ama mereka - mereka ini, yeay!
*mbak Indah, si Adit dan temennya Adit udah ilang duluan*
Mari nonton film Indonesia!
*dan baca bukunya juga!
-iMa
No comments:
Post a Comment